Seorang teman yang biasa saya panggil kakak punya 4 orang anak. Pertama perempuan kelas 5 sd, kedua perempuan kelas 3 sd, ketiga laki-laki usia 4 tahun, dan bungsu laki-laki berusia 1,5 tahun. Suami kakak ini biasa saya panggil ito, karena beliau orang batak.
Bermula ketika korona naik daun dan kehidupan perekonomian masyarakat turun tangga. Si kakak yang semula berjualan di kantin sekolah dengan pendapatan tetap setiap hari walaupun tidak begitu besar, terpaksa berhenti berjualan karena sekolah diliburkan (pembelajaran jarak jauh = belajar di rumah). Sedangkan si ito bekerja sebagai buruh kapal dan hanya bekerja saat kapal masuk. Di sini kapal barang masuk sebulan sekali, jika cuaca bersahabat. Itupun kapal tidak bisa bersandar di pelabuhan, karena memang pelabuhannya yang tidak ada. Ditanya kenapa? Karena sekuat apapun pelabuhan dibuat, ombak yang memecah lebih kuat lagi. Akhirnya kapal hanya bisa terapung dan penurunan barang dibantu dengan bot. Inilah pekerjaan tersulit di Pantai Barat ini, karena taruhannya nyawa. Beberapa waktu lalu, bot yang berisi beberapa buruh untuk membongkar barang, terbalik. Ada 1 korban, ditemukan tak bernyawa keesokan harinya. Kemaren bot ada yg terbalik lagi, tapi Puji Tuhan semua selamat. Maka, besar harapan jalan darat segera rampung untuk memudahkan akses antar kecamatan di pulau Siberut ini.
Kembali ke si kakak.
Karena kerjaan si ito yang tidak pasti, berangkatlah mereka sekeluarga ke ladang dan tinggal di sana. Mereka tinggal di pondok dan hidup seadanya. Mereka menanam banyak agar bisa menghasilkan nantinya.
Puji Tuhan, pemerintah tidak tutup mata akan hal ini. Ada bantuan untuk UKM yang terkendala selama covid, dan si kakak dikabari untuk datang mengambil bantuan di pusat kecamatan. Karena dikira tidak akan lama, si kakak dan si ito berangkat berdua dan anak-anak tinggal di pondok. Ternyata pengurusan bantuan ini lumayan lama, dari pagi hingga sore. Si kakak dan si ito sudah khawatir, tapi sayang jika bantuan ini tidak diurus. Akhirnya mereka ikuti pengurusan hingga sore. Ketika pulang, mereka melihat pondok sudah terbakar dan rata dengan tanah. Lemas, seperti mau mati rasanya. Mengumpulkan kekuatan, sambil menangis mereka mencari anak-anaknya. Tapi Tuhan itu baik. Dia mendengar tangis dan teriak orang minta tolong, terlebih tangisan anak-anak. Ternyata anak-anak berada di pondok ladang tetangga yang kosong, ketakutan. Si bungsu digendong kakak kedua, terisak-isak lelah menangis lama dan seluruh badannya bengkak merah bekas gigitan nyamuk. Si anak ketiga bersama kakak pertama, diam dan takut karena hari sudah senja. Ada gerobak tarik berisi barang-barang yang sempat diselamatkan oleh anak pertama. Ketika mereka menemukan anak-anaknya, tangis mereka pecah. Dan rasa bersalah amat dalam dirasakan oleh orang tua, sedalam rasa syukur untuk keselamatan anak-anaknya.
Mungkin pembelajaran bagi kita, terutama orang tua, untuk tidak meninggalkan anak-anak tanpa pengawasan orang dewasa.
Maaf ceritanya di post kakak, hanya ingin berbagi cerita.
Betaet, September 2020.
0 comments:
Posting Komentar