Masih banyak orang tua belum sadar bahwa pendidikan karakter, skil, dan kecerdasan anak bukan hanya tugas guru dan sekolah. Rumah, adalah tempat dimana anak banyak menghabiskan waktu, maka sudah sepatutnya, pendidikan anak dalam 3 ranah tadi, juga menjadi tanggung jawab orang tua.
Hal ini menjadi perbincangan hangat bagi para guru, karena seringnya guru disalahkan jika anak berlaku tidak baik dan tidak sopan dalam keluarga dan masyarakat.
Kita dapat mengambil beberapa contoh.
1. Melawan orang tua dan berbicara kotor.
Orang tua mengajarkan anak untuk tidak melawan dan tidak berbicara kotor. Lalu ketika pertengkaran terjadi dalam keluarga, semua kata-kata kotor dan hinaan mengalir lancar, saling menyalahkan dan memaki. Tanpa ada yang mau mengalah dan mengakui kesalahan.
Anak akan mengikuti apa yang dilihat dan yang dialami. Sangat sedikit kemungkinan anak mengikuti perintah, terutama perintah yang tidak disertai contoh.
Ini bukan hanya opini, tapi sudah terbukti.
Anak tidak bisa menyelesaikan soal integral dan diferensial, jika kita tidak memberikan contoh penyelesaiannya. Sekalipun kita sudah berkoar-koar menyuruhnya untuk membagi konstanta dengan pangkat ditambah satu dikali variabel pangkat ditambah satu.
Atau melatih anak menari dengan kata dan teriakan, 'angkat kaki kiri, kibaskan tangan, loncat dengan gemulai' tanpa memberi contoh. Saya sendiri pun tak bisa bayangkan, itu gerakan bagaimana. ππ
Nah, kembali ke sini. Ketika anak melawan orang tua dan berbicara kotor, maka orang tua mulai mencari pembenaran dirinya dan mungkin dengan terpaksa atau dengan senang hati menyalahkan guru.
Karena selama saya menjadi guru, saya tidak pernah mendengar guru berbicara kotor di sekolah atau memaki dan menghina orang. Jadi, dari contoh ini, kita bisa tahu, dari mana anak tahu cara melawan dan berbicara kotor.
2. Tingginya angka kehamilan di bangku sekolah.
Dibeberapa tempat, saya masih melihat adanya izin dari orang tua, berpacaran bagi anak sekolah. Jika ditingkat SMA hal ini mungkin masih bisa diterima, mungkin ya, mungkin!!! parahnya ini terjadi di tingkat SMP. Untuk sekolah sendiri, sangat melarang adanya hubungan pacaran antar siswa. Ujung-ujungnya Cinta berakhir di ruang BK. Hahahaha πππ
Pengalaman beberapa anak saya waktu masih ngajar di kota.
Untuk daerah tertinggal, dipikiran saya, seharusnya lebih ekstrim lagi, karena daerahnya kecil dan masyarakatnya tidak terlalu banyak. Maka, jangankan pacaran, duduk berdua, berjalan berdua pun, harusnya ada rasa segan.
Nah, hal yang sebaliknya kadang terjadi. Di daerah kecil, bisa saja tata krama dan kesopanan luntur. Rasa segan kepada orang tua, bahkan guru, sangaaaat jauh di bawah rata-rata.
Saling nyandar, tidur dipangku cewek, duduk rapat, pegang tangan, masih merupakan hal biasa, bahkan di depan orang tua.
Ada juga orang tua yang membiarkan anak gadisnya pulang tengah malam, tanpa di marahi.
Maka tidak heran, angka kehamilan anak sekolah meningkat.
Hal ini bukan hanya pr orang tua, guru sebagai pendidik juga harusnya memberikan contoh yang baik, terutama bagi guru-guru muda yang single, apalagi seprofesi dan setempat kerja. Jika guru pacaran, tentu saja boleh, karena memang sudah waktunya, apalagi yang sudah serius membangun rumah tangga. Tapi semua itu ada tempat dan waktunya. Sebaiknya menghindari pacaran di sekolah, apalagi dihadapan siswa, dan harusnya guru lebih tau mengatur waktu pacaran.
Selain orang tua dan keluarga, lingkungan dan masyarakat juga sangat berperan penting dalam perkembangan anak. Untuk daerah perkotaan, gadget dan internet juga menjadi salah satu faktor penting dalam pembentukan karakter anak. Tapi untuk daerah terdepan, tertinggal, terluar (3T) seperti di Betaet ini, internet masih menjadi hal langka yang belum berpengaruh bagi perkembangan karakter anak.
Jadi kesimpulannya adalah, marilah kita bekerja sama, baik itu guru, orang tua, dan masyarakat, memberikan pengajaran yang baik bagi anak-anak kita. Bukan hanya tugas guru semata. Dan bukan hanya kata-kata belaka.
(Romantis hihihi ππ)